Iniah Bedanya Politik di Kuala Lumpur dan Jakarta Soal Transportasi Publik

Iniah Bedanya Politik di Kuala Lumpur dan Jakarta Soal Transportasi Publik - Dua ibu kota negeri jiran, Jakarta di Indonesia dan Kuala Lumpur di Malaysia, sama-sama berupaya mengatasi kemacetan di wilayahnya. Dua-duanya dalam proses membangun transportasi publik yang lebih baik. Namun, situasi yang dihadapi nyaris bertolak belakang.

Dua pekan lalu, Kompas.com beserta PT Mass Rapid Transit (MRT) Jakarta menyambangi Kuala Lumpur. Seperti halnya Jakarta, kota ini juga tengah membangun MRT yang rencananya akan mulai beroperasi pada 2016.

MRT akan melengkapi layanan transportasi publik yang sudah ada terlebih dahulu di Kuala Lumpur. Kota ini sebelumnya telah memiliki tiga rute light rapid transit (LRT), satu rute monorel, bus kota, Kuala Lumpur International Airport yang melayani jalur reguler dan ekspres, serta kereta komuter yang menghubungkan Kuala Lumpur dengan kawasan penyangga.

"(Pada) 2006 (MRT) diusulkan ke Kerajaan, kemudian dibuat kajian dan jadi proyek Kerajaan. Pada 2010 diteruskan ke kabinet, terus groundbreaking pada 2011," kata Direktur Komunikasi dan Humas Kuala Lumpur MRT Corporation Amir Mahmood Razak, saat ditemui, di kantornya.

Menurut Mahmood, pembangunan transportasi publik di Kuala Lumpur tak pernah terkendala kepentingan politik. "Oposisi pemerintah selalu mendukung penuh pembangunan transportasi publik karena ini memang sangat penting bagi kebaikan orang banyak," ujarnya.

Mahmood mengatakan, Kuala Lumpur tak punya parlemen di tingkat lokal. Kota ini merupakan satu dari tiga wilayah federal yang langsung berada di bawah Kementerian Wilayah Federal dan Kesejahteraan Perkotaan. Di Malaysia, wilayah federal berbeda dengan negara bagian yang berbasis kesultanan.

"Kuala Lumpur tak ada sultan, yang ada Datuk Bandar yang dia itu Civil Servant yang diangkat pemerintah," jelas Leong Shen Li, Asisten Direktur Komunikasi dan Humas Kuala Lumpur MRT Corporation.

"Kuala Lumpur juga tak punya parlemen, parlemen Kuala Lumpur itu ya parlemen Malaysia," tambah Shen Li.

Bagaimana dengan Jakarta?
Transportasi publik juga menjadi program yang sedang "kejar tayang" di DKI Jakarta. Namun, keputusan soal pembangunan layanan moda transportasi di kota ini berliku-liku. Selain MRT yang mulai berjalan tahap pembangunannya, pengadaan transportasi publik lain pun tak gampang diwujudkan di Jakarta.

Meskipun DKI Jakarta adalah ibu kota Indonesia, kebijakan yang diterapkan di kota ini tak selalu merupakan program pemerintah pusat dan sebaliknya. Ketika Jakarta sedang menggenjot transportasi publik, misalnya, pada September 2013, Kementerian Perindustrian justru mengeluarkan izin untuk low cost green car (LCGC).

Mobil murah tersebut tentu saja tak searah dengan upaya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk mengurai kemacetan. Bagaimanapun, pangsa pasar mobil di Indonesia masih didominasi Jakarta. LGCC hanya dibanderol di bawah Rp 100 juta per unit.

Dari struktur politik, Jakarta berbeda pula dengan Kuala Lumpur. Di sini, Gubernur DKI Jakarta dipilih langsung dalam pemilu kepala daerah. Demikian pula dengan parlemen, DPRD DKI Jakarta juga merupakan hasil pemilihan umum tingkat lokal, dengan beragam partai politik di dalamnya. Saat ini, partai politik pengusung Gubernur DKI Jakarta dan wakilnya bukan mayoritas pula di DPRD.

Pada November 2013, misalnya, DPRD DKI Jakarta menyetujui pembelian 650 bus dari 1.000 bus transjakarta yang diajukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sejak Januari 2013. "Pemotongan jumlah bus ini dilakukan karena kami menganggap pengajuan 1.000 bus justru akan membebani Pemprov DKI," kata Wakil Ketua DPRD DKI Priya Ramadhani.

Sudah dipangkas jumlah busnya, pengesahan APBD 2013 DKI Jakarta juga molor. Pembelian bus pun tertunda. Hingga Januari 2014, baru 30 bus baru yang telah beroperasi.

Kuala Lumpur dan Jakarta sama-sama punya daerah penyangga. Lagi-lagi struktur politik juga menjadikan daerah penyangga bagi Jakarta sebagai tantangan tersendiri.

Pakar komunikasi politik Hamdi Moeloek menilai, persoalan transportasi di DKI terkait pula dengan provinsi lain. Kerja sama antarprovinsi dia nilai tidak efisien lantaran ego otonomi daerah.

Menurut Hamdi, seharusnya pemerintah pusat mengambil langkah mengatasi kebuntuan antarprovinsi ini dengan membuat kebijakan "siapa mengatur apa". Menurut dia, Pemerintah seharusnya lebih banyak lagi membantu Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang kepanjangan namanya saja sudah Daerah Khusus Ibukota.

"Transportasi, misalnya. Pergerakan orang dari provinsi lain tinggi. Harus ada transportasi yang mengangkut mereka. Kemacetan pun tak bisa diselesaikan kalau pemerintah pusat tak turun membagi otoritas transportasi," kata Hamdi.

"Presiden jadi kunci. Kalau sudah dapat dilihat yang dikedepankan itu kepentingan publik, mbok Jokowi-Ahok (Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta, Joko WIdodo dan Basuki Tjahaja Purnama, red) itu dibantu. Jika sudah ada momentum berubah, ya ini saatnya membantu," imbuh Hamdi.

Soal politik lokal pun menjadi catatan tersendiri. Pengamat transportasi Ellen Tangkudung mengatakan, DPRD DKI Jakarta seperti DPRD lain di Indonesia, juga selalu mengeluarkan kebijakan dengan muatan politis.

Ellen mencontohkan pembentukan panitia khusus untuk program pembangunan MRT dan monorel oleh DPRD DKI, pada Juni 2013. Dia berpendapat, pansus itu bukan memperlancar pembangunan MRT, melainkan justru menghambat.

"Asal mereka (DPRD) mau keluar dari kepentingan politis, lebih melihat pada kepentingan masyarakat, pasti segala urusan legislasi diperlancar," harap Elen.

"Harusnya pansus itu independen, ya. Susah memisahkan DPRD dari muatan dan kepentingan politis. Mereka harus bisa profesional untuk peran pengawasan berjalannya proyek tersebut," ujar dia.

Bahwa bentuk negara antara Malaysia dan Indonesia berbeda memang sebuah fakta. Kerajaan yang berprinsip federal dan negara kesatuan. Namun, bila menyangkut kepentingan publik, semestinya apa pun bentuk negara bukanlah kendala, tak terkecuali soal transportasi publik ini.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar