5 Orang Ini Saat Korupsi Senang-Senang, Giliran Pas Disidang Menangis - Korupsi di negeri ini semakin merajalela. Meski sudah banyak pelaku dihukum, namun tetap saja tak membuat para elit jera. Berbagai proyek dijadikan bancakan buat memperkaya diri.
Para penjahat kerah putih tak tanggung-tanggung merampok uang rakyat. Setelah ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), ada saja sejumlah alibi agar tetap terlihat bersih. Kadang kala sandiwara pun dimainkan.
Salah satu yang sering dilakoni adalah menangis di persidangan. Dengan cara ini mungkin para koruptor berharap majelis hakim sedikit iba saat memberi keputusan.
Pemandangan ini sungguh ironis. Bagaimana tidak, ketika korupsi mereka senang-senang dengan menghamburkan uang haram seenaknya. Tetapi ketika tertangkap berusaha cuci tangan.
Berikut para koruptor menangis saat menjadi pesakitan:
1. Angelina Sondakh
Jaksa KPK mendakwa Angelina Sondakh dengan hukuman 20 tahun penjara. Angie dikenakan tiga dakwaan sekaligus atas dua kasus korupsi yaitu pembangunan Wisma Atlet di Palembang dan korupsi laboratorium di Kemendiknas.
Dia tertunduk lemas saat mendengar dakwaan jaksa. Wanita yang akrab disapa Angie ini sempat menitikkan air mata. Awalnya Angie mendengarkan dengan seksama dakwaan jaksa. Saat ancaman hukuman dibacakan, matanya berkaca-kaca dan tiba-tiba menangis.
Kejadian serupa terulang ketika Angie membacakan pembelaan atau pledoi. Dalam pledoi itu, dia meminta majelis hakim tidak merampas rumahnya.
"Karena dalam rumah itu terdapat hak-hak anak saya yang yatim, maka saya mohon kepada majelis hakim tidak merampas rumah itu," kata Angelina saat membacakan pledoi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Kamis (3/1).
Sambil menangis, Angie, sapaan Angelina, mengatakan rumah di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan, itu adalah hasil dari penjualan rumah mendiang suaminya, Adjie Massaid, di daerah Rawamangun, Jakarta Timur. Dia mengaku, rumah itu bukan hasil tindak pidana korupsi.
2. Kepala Sekolah Siwaris Budi
Kepala SMP Negeri 1 Lausa, Nias Selatan (Nisel), Siwaris Budi, menangis setelah mendengar tuntutan jaksa di Pengadilan Tipikor Medan, Senin (25/11). Air matanya tak terbendung begitu mengetahui dirinya dituntut 6 tahun 6 bulan penjara karena didakwa mengorupsi dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) senilai Rp 301.371.500.
Selain hukuman penjara, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Edi Tarigan juga meminta majelis hakim yang diketuai Lebanus Sinurat mendenda Siwaris Rp 50 juta subsider 3 bulan kurungan. Selain itu, JPU juga meminta agar terdakwa dikenai pidana tambahan berupa kewajiban membayar uang pengganti (UP) kerugian negara senilai Rp 301.371.500.
"Dengan ketentuan, apabila 1 bulan setelah putusan tetap pengadilan terdakwa tidak sanggup membayar, maka harta bendanya disita. Dan apabila setelah dilelang harta bendanya tidak cukup untuk menutupi kerugian negara, maka terdakwa harus dipenjara selama 3 tahun 3 bulan," pinta Edi.
Dalam perkara ini, SMP Negeri 1 Lausa menerima dana BOS Rp 800 juta pada 2010-2012. Sebagai pengelola, Siwaris menggunakan sebagian dana bantuan itu tidak sesuai peruntukan. Dia menggunakannya untuk kepentingan pribadi mulai triwulan IV 2010 sampai triwulan I tahun 2012. Akibatnya, negara dirugikan Rp 301.371.500.
JPU menilai Siwaris telah melakukan perbuatan yang diatur dan diancam dengan Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 64 ayat (1) KUHPidana.
3. Siti Hartati Murdaya
Terdakwa kasus suap pengurusan sertifikat lahan kelapa sawit di Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah, Siti Hartati Murdaya, menangis saat membacakan nota pembelaan pribadi. Dia sedih karena merasa diperdaya oleh pemerintah daerah setempat.
Dalam pledoi pribadi, Hartati mengatakan sudah memenuhi ketentuan pemerintah dalam mengurus sertifikat Hak Guna Usaha dan Izin Usaha Perkebunan perkebunan kelapa sawitnya. Tetapi, dia berkilah, dalam prosesnya, Pemerintah Kabupaten Buol sengaja mengulur penerbitan sertifikat itu.
Hartati mulai menangis saat mengatakan perusahaannya berjasa bagi meningkatkan penghidupan warga setempat. Menurut dia, pembukaan lahan di Buol sangat sulit lantaran kontur tanahnya berbukit-bukit.
"Padahal, usaha kami membuka perkebunan di Buol sangat sulit. Perusahaan kami juga menghidupi masyarakat setempat," kata Hartati sambil menangis, dalam sidang lanjutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin (21/1).
Lantaran menangis, Hakim Ketua Gusrizal meminta Hartati menenangkan diri. Pembacaan pledoi pun sempat terhenti sesaat.
Setelah tenang, Hartati kembali membacakan nota pembelaan. Tetapi, dia kembali menangis saat ingat hampir celaka sewaktu memeriksa lahan dari udara. Saat itu, menurut pengakuan Hartati, helikopter yang dia tumpangi hampir jatuh. Hakim Ketua Gusrizal pun kembali meminta Hartati menenangkan diri. Pembacaan pledoi masih berlangsung sampai saat ini.
4. Djoko Susilo
Terdakwa kasus dugaan korupsi pengadaan simulator SIM di Korlantas Polri pada 2011 dan pencucian uang, Djoko Susilo, akhirnya tidak bisa menahan tangisnya saat membacakan nota pembelaan (pledoi) pribadi, Selasa (27/8) kemarin.
Air matanya tumpah saat dia membacakan soal istri-istri serta anak-anaknya di dalam pledoi?
"Saya harus berpisah dengan istri yang saya cintai. Dan anak saya menjadi korban. Saya menenangkan mereka dengan mengatakan, 'Ini telah terjadi atas izin Allah SWT'," kata Djoko dengan suara lirih dan bergetar, saat membacakan pledoi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta.
Dalam pledoi pribadi itu, Djoko menyatakan sempat menasehati anak dan para istrinya supaya selalu sabar dan tawakal. Dia lantas selalu membawa nama Allah SWT, dalam pledoinya itu.
Bila keadilan diri diambil, percaya Allah SWT, akan kembalikan berlipat ganda. Percayalah di balik beban, ada hikmah, ada pelajaran yang bisa kita petik, ujar Djoko.
5. Dendi Prasetya
Terdakwa kasus korupsi pengadaan laboratorium komputer madrasah tsanawiyah, dan penggandaan Alquran di Kementerian Agama, Dendi Prasetya, tiba-tiba menangis dalam persidangan. Dia mengaku menyesal telah masuk pusaran kasus yang juga membelit ayahnya, Zulkarnaen Djabar.
"Saya menyesal yang mulia. Kalau dari awal tahu seperti ini, saya enggak akan mau ikut-ikutan," kata Dendi sambil menangis di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Kamis (25/4).
Agenda sidang hari ini adalah pemeriksaan terdakwa. Dalam persidangan itu, Dendi juga meminta maaf kepada bapaknya, yang juga dihadapkan ke depan persidangan. Dia cuma merasa tindakannya yang mengambil dokumen ayahnya soal daftar proyek dan alokasi anggaran, serta menggandakannya salah.
Namun, Dendi tidak mengakui dia ikut serta mengurus proyek itu. Dia cuma mengaku hanya mengikuti perintah saksi Fahd El Fouz alias Fahd A Rafiq. Sebab, saat itu Fahda adalah Ketua Umum Gerakan Muda Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (Gema MKGR), sementara Dendi menjadi Sekretaris Jenderal Gema MKGR.
"Saat ditahan, saya sempat minta izin kepada penyidik menemui ayah saya. Saat ketemu, saya minta maaf kepada dia. Kakinya saya cuci yang mulia," ujar Dendi sambil menangis tersedu-sedu. | merdeka.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar