Assalamualaikum sobat wajahcewek,
Sepertinya remaja jaman sekarang lebih mudah patah hati. Lihat saja status Fb atau semacamnya yang kebanyakan bermuram durja. ABG (Anak Baru Gedhe) yang sedang jatuh cinta kadang-kadang tidak bisa mengkontrol gejolak cintanya yang baru tumbuh. Akhinya mereka meluapkan emosi dengan spontan seperti menangis, bolos sekolah atau malah tindakan-tindakan yang membahayakan diri mereka sendiri.
Wajarlah kalau pikiran mereka masih labil. Tetapi bagi kita atau orang dewasa terdekat, harus bisa membimbing langkah mereka agari tidak salah jalan. Sebagai contoh adik saya adalah seorang mahasiswa magang sebagai guru BK (Bimbingan Konseling) di salah satu SMP. Kebetulan dia mendapati tempat magang dengan murid yang banyak sekali masalah. Suatu ketika dia mendapati siswinya yang kecewa berat karena habis diputus oleh pacarnya, dia menangis histeris sampai menggores urat nadi tangannya. Ckckck.. Sampai pihak sekolah memanggil ambulans dan membawanya ke Rumah Sakit. Itu hanya segelintir contoh yang dapat saya sebutkan, masih banyak berita ABG siswi yang bertingkah lebih ekstrim lagi. Ada yang memutuskan gantung diri, ada pula yang mencoba meminum cairan pembersih. Sungguh ironis memang, tugas mereka yang seharusnya masih belajar malah salah arah dan merugikan diri sendiri.
Jangan sampai kayak gini yachh.. |
Semua kejadian itu bermula dari patah hati. Kita boleh saja menyukai seseorang di dalam hati, tapi juga harus hati-hati. Jatuh cinta kepada seseorang kalau menurut syar'i itu tidak boleh diluapkan dengan pacaran. “Sebuah ungkapan jangan ‘beli kucing dalam karung’ nampaknya menjadi alasan klasik.” (PIA: 33) Dalam prasangka sebagian penghujat, “alasan inilah yang paling banyak diakui oleh teman remaja yang pacaran. … Padahal, kayaknya cuma akal bulus deh.” (JNC: 68) Akal bulus? Tidak bolehkah kita berikhtiar untuk lebih mengenal calon pasangan hidup?
“Bohoong! Bohong banget kalau orang yang pacaran itu makin mengenal satu sama lain. Kalaupun iya, paling juga kenal luarnya doang.” (KHP: 117) Mereka mendakwa, “pacaran adalah saat-saat paling munafik dalam kehidupan seseorang.” (PIA: 34) “Kita lihat kan, berapa banyak orang pacaran dengan dalih ‘mengenal’ sebelum menikah, toh saat menikah mereka juga malah pada berantem terus. Hihihi… abis gimana? … abis nikah kebuka semua sih, sifat aslinya.” (KHP: 117-118) Ya. Itu bisa saja terjadi. Namun, untuk adilnya, kita harus melihat juga, berapa banyak orang ‘pacaran islami’ dan kemudian setelah menikah menjadi sangat rukun (jarang berantem), karena sudah saling kenal sebelum menikah. Abis, pada waktu ‘pacaran islami’ itu, sudah kebuka semua sih, sifat aslinya yang mendasar (kendati sifat-sifat lain yang tidak fundamental belum terkuak).
“Standar mengenal juga nggak bisa dipastikan.” Maka, menurut sebagian penghujat, “yang menjadi masalah sebenarnya bukan seberapa lama mereka ‘mencoba mengenal’, namun seberapa siap seorang laki-laki dan perempuan untuk memahami dan bertanggung jawab dalam bingkai sebuah hubungan yang dihalalkan. Bukan begitu?” (KHP: 120-121) Bukan! Argumentasi tersebut tampak sesat-pikir lantaran ‘dilema yang keliru’. (Lihat JSP: 43.) Mengapa keliru, berikut ini penjelasan saya.
Bagi orang yang merasa belum siap nikah, pacaran itu bisa menciptakan rasa saling-kenal, sehingga ia menjadi merasa siap untuk meresmikan hubungan. Sementara itu, bila kita tanpa pacaran sudah bisa merasa siap untuk memikul tanggung jawab dalam pernikahan, itu antara lain karena ada rasa saling-kenal yang mendasarinya, meskipun sedikit. Rasa saling-kenal tambahan (yang tumbuh dari pacaran, misalnya) dapat membuat kita lebih merasa siap untuk menikah.
Rasa mengenal itu lebih kita butuhkan daripada pengetahuan tentang si dia. Jika kita tahu banyak, tetapi belum merasa cukup-mengenal, maka banyaknya pengetahuan itu kurang memberi kita dorongan. Tapi, jika kita merasa cukup-mengenal, maka itu sudah dapat mendorong kita untuk merasa siap untuk menikah, walau menurut ‘standar orang-orang’ pengetahuan kita tentang si dia tidak banyak. Karena itu, tidak jelasnya standar mengenal tidak menjadi masalah.
Bagaimana kalau dalam rangka mendorong pacar agar dia semakin merasa ‘siap’ kita gunakan rayuan? Kita pakai kata-kata manis seperti: ‘Bulan madu ke awan biru, akan kugendong rembulan, kukantongi bintang-bintang. Kalau tak percaya, belahlah dadaku.’?
“Bohoong! Bohong banget kalau orang yang pacaran itu makin mengenal satu sama lain. Kalaupun iya, paling juga kenal luarnya doang.” (KHP: 117) Mereka mendakwa, “pacaran adalah saat-saat paling munafik dalam kehidupan seseorang.” (PIA: 34) “Kita lihat kan, berapa banyak orang pacaran dengan dalih ‘mengenal’ sebelum menikah, toh saat menikah mereka juga malah pada berantem terus. Hihihi… abis gimana? … abis nikah kebuka semua sih, sifat aslinya.” (KHP: 117-118) Ya. Itu bisa saja terjadi. Namun, untuk adilnya, kita harus melihat juga, berapa banyak orang ‘pacaran islami’ dan kemudian setelah menikah menjadi sangat rukun (jarang berantem), karena sudah saling kenal sebelum menikah. Abis, pada waktu ‘pacaran islami’ itu, sudah kebuka semua sih, sifat aslinya yang mendasar (kendati sifat-sifat lain yang tidak fundamental belum terkuak).
“Standar mengenal juga nggak bisa dipastikan.” Maka, menurut sebagian penghujat, “yang menjadi masalah sebenarnya bukan seberapa lama mereka ‘mencoba mengenal’, namun seberapa siap seorang laki-laki dan perempuan untuk memahami dan bertanggung jawab dalam bingkai sebuah hubungan yang dihalalkan. Bukan begitu?” (KHP: 120-121) Bukan! Argumentasi tersebut tampak sesat-pikir lantaran ‘dilema yang keliru’. (Lihat JSP: 43.) Mengapa keliru, berikut ini penjelasan saya.
Bagi orang yang merasa belum siap nikah, pacaran itu bisa menciptakan rasa saling-kenal, sehingga ia menjadi merasa siap untuk meresmikan hubungan. Sementara itu, bila kita tanpa pacaran sudah bisa merasa siap untuk memikul tanggung jawab dalam pernikahan, itu antara lain karena ada rasa saling-kenal yang mendasarinya, meskipun sedikit. Rasa saling-kenal tambahan (yang tumbuh dari pacaran, misalnya) dapat membuat kita lebih merasa siap untuk menikah.
Rasa mengenal itu lebih kita butuhkan daripada pengetahuan tentang si dia. Jika kita tahu banyak, tetapi belum merasa cukup-mengenal, maka banyaknya pengetahuan itu kurang memberi kita dorongan. Tapi, jika kita merasa cukup-mengenal, maka itu sudah dapat mendorong kita untuk merasa siap untuk menikah, walau menurut ‘standar orang-orang’ pengetahuan kita tentang si dia tidak banyak. Karena itu, tidak jelasnya standar mengenal tidak menjadi masalah.
Bagaimana kalau dalam rangka mendorong pacar agar dia semakin merasa ‘siap’ kita gunakan rayuan? Kita pakai kata-kata manis seperti: ‘Bulan madu ke awan biru, akan kugendong rembulan, kukantongi bintang-bintang. Kalau tak percaya, belahlah dadaku.’?
Lantas, bagaimana sebaiknya sikap kita menghadapi begitu banyaknya penyimpangan di dunia pacaran? Kita dapat belajar dari sebuah hadits shahih bahwa “Ilmu [agama] ini diemban dalam setiap generasi belakangan oleh orang-orang adil yang menyingkirkan penyimpangan orang-orang yang berlebihan, pemalsuan orang-orang yang suka berbuat bathil, dan pentakwilan orang-orang bodoh.” (HR al-Baihaqi)
Dalam belajar ini, kita dapat mencontoh sebuah model solusi yang telah dijalankan oleh Hamka. Melihat banyaknya penyimpangan yang serius di dunia ‘tasauf’ yang menjurus syirik, yang dosanya mungkin jauh lebih besar daripada dosa zina yang terdapat pada ‘pacaran pada umumnya’, ulama kita ini tidak serta-merta mengharamkan segala bentuk ‘tasauf’. Dengan mengetengahkan konsep ‘Tasauf Modern’, Hamka bertekad, “Kita tegakkan kembali maksud semula dari tasauf.” (TM: 17)
Oleh sebab-sebab itu, strategi yang kita pilih adalah islamisasi, meluruskan aneka penyimpangan, mengambil yang haq dan menyingkirkan yang bathil (tidak mencampur-adukkan antara keduanya), merujuk kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Langkah islamisasi seperti ini dapat dibenarkan oleh syari’at. Rasulullah saw. bersabda, “Sungguh telah aku tinggalkan bagi kalian dua pegangan, sehingga kalian tidak akan tersesat selama berpegang pada keduanya, yaitu Kitab Allah [Al-Qur’an] dan Sunnah Nabi-Nya.” (HR Malik dan Hakim)
Dalam belajar ini, kita dapat mencontoh sebuah model solusi yang telah dijalankan oleh Hamka. Melihat banyaknya penyimpangan yang serius di dunia ‘tasauf’ yang menjurus syirik, yang dosanya mungkin jauh lebih besar daripada dosa zina yang terdapat pada ‘pacaran pada umumnya’, ulama kita ini tidak serta-merta mengharamkan segala bentuk ‘tasauf’. Dengan mengetengahkan konsep ‘Tasauf Modern’, Hamka bertekad, “Kita tegakkan kembali maksud semula dari tasauf.” (TM: 17)
Oleh sebab-sebab itu, strategi yang kita pilih adalah islamisasi, meluruskan aneka penyimpangan, mengambil yang haq dan menyingkirkan yang bathil (tidak mencampur-adukkan antara keduanya), merujuk kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Langkah islamisasi seperti ini dapat dibenarkan oleh syari’at. Rasulullah saw. bersabda, “Sungguh telah aku tinggalkan bagi kalian dua pegangan, sehingga kalian tidak akan tersesat selama berpegang pada keduanya, yaitu Kitab Allah [Al-Qur’an] dan Sunnah Nabi-Nya.” (HR Malik dan Hakim)
So sobat wajahcewek, bekali orang-orang terdekat kita dengan ajaran agama. Jangan sampai pikiran mereka terkontaminasi dengan lingkungan sekitar, lingkungan dumay dan tayangan tv yang tidak bermanfaat. Marilah kita pelajari pedoman hidup kita Al-Qur'an dengan semampu kita. Niscaya akan ada manfaat yang kita peroleh di dunia maupun akhirat.
NB*
Singkatan KHP, PIA JNC dan PCKI lihat buku :
- Robi’ah Al-Adawiyah, Kenapa Harus Pacaran?! (DAR! Mizan)
- Abu Al-Ghifari, Pacaran yang Islami Adakah? (Mujahid Press)
- Oleh Solihin dan Iwan Januar, Jangan Nodai Cinta (Gema Insani Press)
- Abdurrahman Al-Mukaffi, Pacaran dalam Kacamata Islam (Media Da’wah)
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar